Nurul, dia adalah
sahabat terbaikku dari TK hingga sekarang. Dia shalehah, memiliki senyum yang
manis, baik hati & hafal Al-Qur’an pula (subhannallah). Sungguh, siapapun
akan terpesona dengan keanggunan & kepribadian akhlaknya. Dan aku sendiri
kadang iri dengannya. Bahkan ibuku sendiri sering membanding-bandingkan aku
dengan dia. Sebel banget rasanya kalau sudah disbanding-bandingin kayak gini.
Fiuhhhh……
Siang itu, dipadang ilalang. Seperti biasa Nurul terpekur
duduk tenang diantara rerumputan ilalang dibawah pohon mahoni. Seperti biasa,
ditangannya telah tergenggam Al-Qur’an kecil yang slalu ia bawa untuk mengulang
hafalannya agar tidak mudah lupa. Berbanding terbalik dengan kebiasaan diriku,
aku paling males menghafal Al-Qur’an. Aku lebih suka dengerin lagu-lagu pop
& barat yang paling popular. Bahkan sedewasa ini aku masih belum juga
berhijab. Padahal, Nurul seringkali menasehatiku agar menutup aurat sesegera
mungkin. Tapi, aku sering kali ngeyel tiap kali dia menasehati tentang ini itu.
Dia juga rutin memberiku hadiah buku-buku islami yang sangat popular saat ini.
Seperti karya-karya Felix Siauw, Salim A, Fillah, Tere-Liye, Asma Nadia, &
masih banyak lagi. Jangankan untuk membacanya, baru liat judulnya aja aku sudah
tak berselera. Percaya atau tidak, semua buku pememberiannya kini hanyalah
pajangan di rak bukuku yang sudah hampir menggunung & memenuhi seisi
ruangan kamarku. Rencananya aku ingin memindahkannya ke gudang pekan nanti.
Heran aku, betapa rajinnya dia mengirimiku bacaan-bacaan semacam itu. Padahal
aku tidak suka, sungguh isinya hanyalah fikiran-fikiran yang kolot & gak
sesuai dengan tipeku sebagai nak gaul.
“Ra, ngapain disitu?”. Nurul mengagetkan sekilas lamunanku.
“Oh, enggak Nur, gue lagi liat-liat aja pemandangan
disekitar sini. Sejuk & menyenangkan ya ternyata.” Jawabku sambil
menghempaskan nafas pelan.
“Iya, makanya aku sangat suka menghabiskan waktu luangku
disini untuk mengulang kembali hafalanku. Disini sangat sangat cocok untuk
refreshing & menyegarkan kembali otak yang penat.” Kembali membuka Qur’an
kecilnya & mengulang hafalannya.
“O iya, buku Habbits yang aku kasih kemarin sudah dibaca
belum?”. Sekilas ia menatapku & kembali lagi pada pengulangan hafalannya.
Aku tertegun sebentar, jangankan membaca. Liatnya aja aku males banget.
“emmm, belum sempet aku baca Nur. Akhir-akhir ini aku
mulai sibuk dengan tugas kuliah”. Padahal, aku lebih sibuk dengan nge-date,
jalan-jalan di mall, ngumpul bareng gank “The Gaoel”, & dengerin
musik-musik barat favoritku pastinya. Sungguh, betapa jauh aku dari nilai-nilai
islam. Padahal, Nurul Sering kali menyarankanku agar lebih baik mendengarkan
lagu-lagu nasyid atau murottal. Tapi, aku sering kali membandel & menuruti
semua sarannya. Tapi, aku tak pernah berani menolak mentah-mentah dihadapannya.
Aku masih berprikemanusiaan & tak ingin menyakiti hatinya. Apalagi, dia
sahabat kecilku yang teramat baik & teramat sering membantuku disaat aku
kesulitan dalam belajar. Nurul memang pintar, dia cepat paham & menguasai
setiap materi yang disampaikan dosen. IPKnya selalu 4, tidak kurang tidak
lebih. Berbeda denga diriku, yang masih dikerubungi nilai C sana sini. Sungguh
terlalu. Siang itu, aku bener-bener kesal terhadap dia karena terlalu sering
menasehatiku & sok tahu terhadap kehidupanku.
“Ra, kamu masih jadian sama Alfin?”. Kenapa dia
tanya-tanya tentang Alfin? Tanyaku dalam hati dengan nada selidik.
“iya, kenapa emang?”. Jawabku datar penuh selidik.
“Afwan sebelumnya, aku tidak bermaksud ikut campur urusan
kalian. Tapi, demi Allah sesungguhnya Alfin itu bukan cowok yang baik-baik Ra.
Aku pernah memergokinya jalan sama cewek lain. Bahkan kemarin Amira sempet
melihat dia jalan sempoyongan sambil memegang miras & menggangu gadis-gadis
yang baru pulang pengajian ba’da isya’ kemarin.”
“Nur, kamu itu apa-apaan sih? Jangan nuduh Alfin
sembarangan ya. Alfin itu orang baik-baik. Gak mungkin dia seperti itu.” Alfin
yang romantis, care, keren & tajir gak mungkin kayak gitu. Nuraniku memeberontak.
Ya, aku memang sudah terlanjur mencintainya, teramat sangat mencintainya malah.
Tega-teganya sahabat terdekatku menuduh dia seperti itu.
“Tapi, itu kenyataan ra. Bukan Cuma aku aja kok yang
liat.” Nurul berusaha meyakinkan lagi. Tapi, hatiku terlampau gelap saat itu.
Sehingga kau tak mapu membedakan mana gelap dan mana terang. Teramat kalut.
Kalut. Sungguh kalut.
“Alaahh, udahlah. Aku udah gak percaya lagi sama kamu.
Kamu itu munafik, sok alim, dan sok nasehatin segala lagi. Kamu jangan nyebarin
fitnah yang enggak-enggak. Gue kecewa sama lho. Mulai sekarang, lho bukan lagi
sahabat gue. Gue benci sama lho!!!”. Aku memaki-maki dia habis-habisan. Masih
sempat kulihat airmatanya jatuh menggenangi pipi. Sesungguhnya, akulah yang
jahat Nur. Maafkan aku yang tak mendengar setiap nasehatmu. Kini aku menyesal,
benar-benar menyesal. Alfin tidak lebih hanyalah laki-laki bajingan. Dia, dia
telah menodai sepupuku sendiri. Sungguh menjijikan, sangat menjijikan. Aku
sungguh tak percaya dengan semua ini. Ternyata, kata-katamu benar sobbat. Maaf,
Karen aku sempat tak mendengarkan nasehatmu. Aku menyesal, sungguh sangat
menyesal
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar