Jumat, 20 Maret 2015

Membangun Generasi Islam Yang Unggul Melalui Pendidikan Qur’ani (Memenuhi Tugas 1 Bahasa Indonesia 2)



Alquran telah mengingatkan umat Islam agar tidak meninggalkan generasi yang lemah (dzurriyyatan dhi’afan) (QS [4]: 9), tapi generasi yang kuat, cerdas, penyejuk mata dan hati serta pemimpin orang bertakwa. (QS [25]: 74). Oleh Karena itu, pendidikan Islam yang beorientasi Qur’an sangat diperlukan untuk meningkatan kecerdasan anak. Terutama untuk proses pembentukan karakter keislaman. Bukan hanya berorientasi nilai akademik dan kelulusan saja, apalagi mengabaikan akhlak/moralitas.
            Dalam hal pembentukan generasi Qur’ani, orangtua tentunya merupakan figur yang sangat berperan penting selain guru di sekolah formal dalam pembentukan karakter ini. Sebagaimana hadis Nabi yang berbunyi: “Setiap anak yang dilahirkan adalah fitrah (suci). Kedua orang tua yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. (HR Bukhari Muslim). Orang tua adalah guru utama dan keluarga sebagai sekolah pertama untuk melahirkan generasi terbaik. Mulailah tanamkan rasa cinta anak terhadap Al-Qur’an sejak usia dini. Sebagimanan pepatah pernah berkata “Belajar diwaktu kecil ibarat mengukir diatas batu, dan belajar ketika dewasa ibarat mengukir diatas air.” Prinsip ini muncul dari kaidah Rabbaniyah yang ada dan terjadi dialam semesta. Tidak diraguka lagi, orang yang masih kecil biasanya lebih cepat menangkap pelajaran daripada orang dewasa. Didiklah anak-anak kecil agar mulai menghafal Al-Qur’an sedini mungkin. Karena, ketika manusia dilahirkan, kekuatan hafalannya berada pada puncaknya, namun kekuatan pemahaman (analisisnya) masih rendah. Kekuatan hipotesisnya kurang sekali, sedangkan daya hafalnya justru dalam tingkatan lusr biasa. Demikianlah, seiring perjalanan waktu. Masa kecil yang dimaksud adalah tahun aknak-kanak dan masa muda. Masa ini terus berlanjut hingga manusia berumur dua puluh atau dua puluh lima tahun. Rata-rata usia ini kekuatan hafalan dan daya analisisnya nyaris sama. Kemudian daya hafalnya semakin melemah dan daya analisisnya semakin meningkat.
            Sebagai orangtua, figur yang sangat penting dalam pemebentukan karakter Qur’ani anak, tentunya tidak bisa memaksakan kehendak dengan semena-mena. Perlu pengertian yang mendalam tanpa keterpaksaan. Jangan sampai mendorong secara paksa anak untuk mencintai ilmu, kejujuran, kedermawanan & akhlak mulia. Namun, pancinglah ia untuk melakukan hal yang demikian dengan sendirinya. Karena tidak semestinya kebaikan ditanamkan denga cara EDO (Ekspresif-Doktrinal-Otoriter). Pancinglah secara pelan-pelan agar anak tidak merasa tertekan. Tanamkanlah prinsip pengertian. Betapa pentingnya menanamkan nilai-nila kesadaran atu cara pendekatan PAF (Persuatif-Akomodatif-Familiar), inilah yang dicontohkan oleh Baginda besar kita Nabi Muhammad SAW. dengan cara mengumpan pertanyaan kepada para sahabatnya: “Maa bal akwaam?”. “apa yang kalian lakukan jika seseorang melakukan tindakan yang demikian-demikian?”.
            Khalid Bin Hamid al-Hazimy, penulis buku, “Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah”, menjelaskan tiga orientasi pendidikan Qur’ani. Pertama, orientasi penanaman. Ibarat pohon, ia bermula dari bibit pilihan, ditanam dengan kesungguhan dan keikhlasan, hingga tumbuh dan berkembang menjadi pohon yang kokoh, rindang dan berbuah.
            Begitu pula dengan manusia. Dari jutaan sperma, hanya satu yang berhasil membuahi sel telur dengan benih terbaik. (QS [76]: 1-2). Dalam kandungan, ia ditiupkan ruh Ilahi dengan potensi tauhid (QS [7]: 172). Ketika lahir, ia diazankan dan diiqamatkan agar mendengar kalimah tauhid dan thayyibah.
            Pendidik Sejati, Luqman al-Hakim, telah memberikan teladan dalam mendidik anak yang benar yakni penanaman akidah lebih dahulu. Jika akidah tauhidnya kuat, maka kepribadiannya pun akan baik. (QS [31]: 12-19). Kalimah thayyibah itu, laksana pohon yang akarnya menghunjam ke bumi dan dahannya menjulang ke langit, dengan buah yang banyak. (QS [14]: 24-25). Pepatah Arab mengatakan, “man yazra’ yahsud” (siapa menanam dia akan memanen).
            Kedua, orientasi pemeliharaan. Ia mesti dijaga (evaluasi) dengan baik agar tumbuh menjadi pohon yang kokoh, sekaligus memperkuatnya dengan pupuk yang berisi akhlak mulia, agar tidak terjerumus pada hal-hal negatif.
            Nabi Ya’qub AS bertanya kepada anak-anaknya, “Apa yang akan kalian sembah sepeninggalku?”. Mereka menjawab, “Kami akan menyembah tuhanmu, tuhan nenek moyangmu Ibrahim, Ismail dan Ishaq, yakni Tuhan yang Maha Esa.” (QS [2]: 133). Kalau kita, sering menanyakan, “Apa yang akan kalian makan setelah aku mati?”
            Ketiga, orientasi penyembuhan. Pohon yang tumbuh akan terus menghadapi bala dan hama. Ia harus diberi obat penawar untuk melawan hama. Jika tidak, ia bisa mati atau hidup segan mati tak mau. Begitu pula perkembangan anak-anak di tengah tatanan sosial yang bobrok ini. Upaya-upaya sistematis dan massif untuk merusak akidah, pemikiran dan akhlak anak-anak sangat deras dan bertubi-tubi, termasuk pada siaran televisi TV yang memberitakan kekerasan, pornografi, serta pornoaksi.
            Mereka harus dirangkul dan dibimbing menuju jalan yang benar. Jangan tinggalkan dalam kesesatan. Kita bimbing mereka dengan membaca dan merenungi Al-quran, karena ia adalah obat dan penyejuk yang menentramkan hati & fikiran manusia. Gema Al-Qur’an sewaktu mereka masih kecil amat mempengaruhi kehidupan kemudian hari.
            Membangun generasi Qur’ani tidaklah semudah membalikkan kedua telapak tangan. Perlu proses yang lebih intens lagi, agar nilai-nilai Qur’ani bisa masuk dan melekat pada diri anak. Sebagai aktifis dakwah, perlu rasanya kita meninjau & menggerakkan kembali generasi Qur’ani ini, mengingat betapa pentingnya Al-Qur’an yang sangat berpengaruh dalam menentykan masa depan dakwah. Sebuah methode (minhaj) yang diberikan oleh Allah SWT. secara sempurna, dan telah menuntun kehidupan manusia, saat ini.
            Dakwah Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, pernah menghasilkan generasi yang tidak pernah dikenal sebelumnya, yaitu generasi para Shahabat. Generasi yang memiliki ciri atau karakter tersendiri, dan mempunyai pengaruh yang luar biasa dalam sejarah Islam. Nampaknya dakwah ini tidak pernah lagi menghasilan sebuah generasi seperti yang pernah dihasilkan generasi para Shahabat.
            Memang sepanjang sejarah selalu ada orang-orang besar, yang menghiasi lembaran-lembaran sejarah, tetapi mereka tidak akan pernah dapat menyamai generasi para Shahabat. Tidak pernah terjadi sepanjang sejarah, di mana berkumpul sedemikian banyaknya, pada suatu tempat dan periode, sebagaimana terjadi pada periode dakwah yang pertama, yang dilaksanakan oleh Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam.
Allah SWT. telah menjamin untuk memelihara ketinggian dakwah ini, dan mengajarkan bahwa dakwah ini terus berjalan dengan tidak adanya Rasulullah SAW. Semua ini tak lain merupakan buah dari dakwah Beliau Shallahu alaihi wa sallam, yang melaksanakan dakwah selama 23 tahun, lalu Rasulullah SAW. dijemput-Nya, dikekalkan-Nya agama ini sampai akhir zaman. Dakwah terus berjalan dengan penuh geloranya, karena telah adanya Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang merupakan warisan kekal, sepanjang zaman dans sejarah manusia.
Mengapa generasi pertama dalam dakwah ini, mempunyai karakter yang khas, dan tidak akan pernah terjadi lagi sesudahnya, karena mereka berinteraksi langsung dengan Rasulullah SAW., dan menerima wahyu (Al-Qur’an), dan mengamalkannya. Mereka mengambil Al-Qur’an sebagai sumber bagi kehidupannya. Tidak mengambil sumber dari sumber-submer yang bathil buatan manusia. Seperti digambarkan Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam :
“Sewaktu Aisyah RA, ditanya tentang budi-pekerti Rasul SAW., ia berkata : “Budi pekertinya adalah Al-Qur’an”.
Al-Qur’an menjadi satu-satunya sumber bagi kehidupan mereka, menjadi ukuran, dan dan dasar berpikir mereka. Ketika itu, bukan manusia tidak memiliki peradaban di bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Bukan. Justru saat itu peradaban Romawi, ilmu pengetahuan, dan hukum Romawi, yang sekarang masih menjadi ciri atau ideologi Eropa.
Bahkan terdapat pengaruh peradaban Yunani, yang begitu kuat, di dalam kehidupan, sumber peradaban materi, yang sekarang terus mengalami dekadensi, yang menuju kehancurannya.
Mengapa generasi pertama dakwah ini, membatasi diri, dan tidak mau menerima berbagai peradaban dan pemikiran yang ada waktu, dan sudah sangat maju? Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, ingin membentuk sebuah generasi baru, yang dikenal dengan “Generasi Qur’ani”. Mereka yang benar-benar hidup dibawah naungan Al-Qur’an. Tidak hidup dibawah pengaruh atau terkontaminasi dengan peradaban Romawi dan Yunani, yang merupakan induk dari peradaban materialisme. Ada peradaban India, Cina, Romawi, Yunani, Persia, semuanya mengelilingi jazirah Arab dari Utara dan Selatan. Agama Yahudi dan Nashrani juga hidup di jazirah Arab, yang melahirkan peradaban dan budaya paganisme.
Rasulullah SAW. membatasi para Shahabat, yang ingin membentuk sebuah generasi baru, yang akan menjadi suri tauladan, bagi seluruh umat manusia, sepanjang sejarahnya. Tidak mungkin Islam akan dapat menjadi sebuah peradaban baru, yang akan membangun kehidupan umat manusia dengan sebuah minhaj baru, yang akan membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan yang ada. Rasulullah SAW. hanya membatasi para Shahabat dengan Al-Qur’an, dan nilai-nilai kemuliaan yang ada dalam Al-Qur’an.
Rasulullah SAW. dengan rencananya, khususnya dalam periode ‘formatifnya’ (pembentukan), tidak memberi kesempatan kepada para sahabat sedikitpun mereguk nilai-nilai diluar Al-Qur’an. Al-Qur’an yang Beliau terima dari Malaikat Jibril disampaikan kepada para sahabat, dan mereka mengamalkannya dengan penuh keimanan. Karena itu, generasi pertama yang merupakan bentukan Rasulullah SAW., merupakan generasi paling mulia, generasi yang merupakan kelompok yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai ‘asy-syabiquna awwalun’ (mereka yang pernah istijabah menerima Al-Qur’an), dan istijabah terhadap dakwah Rasulullah SAW.
Maka, ketika itu, Rasulullah SAW. marah kepada Umar Ibn Khatthab, waktu itu melihat Umar di tangannya ada selembar buku Taurat. Beliau bersabda :
“Demi Allah, seandainya Nabi Musa hidup di kalangan kamu sekarang ini, ia pasti mengikuti saya”. (HR. al-Hafiz Abu Ya’ala, dari Hammad, dari as-Syabi dari Jabir)
Generasi para sahabat yang mendapatkan tarbiyah langsung dari Rasulullah SAW., sebuah generasi yang unik, dan betapa mereka menjadi penyebar Islam ke seluruh dunia. Mereka pula di saat bulan Ramadhan berperang menaklukkan kafir Qurays, dan hanya dalam jumlah 300 Shahabat, melawan seribu pasukan Qurays, dan berhasil menaklukan pusat peradaban jahiliyah, yaitu Makkah.
Fathul Makkah berlangung di saat bulan Ramadhan. Jihad para Shahabat yang pertama dalam sejarah yang agung itu, berlangsung di bulan Ramadhan. Mereka berhasil memberihkan kota Makkah, yang merupakan pusat perdaban jahiliyah, kemudian menjadi pusat peradaban tauhid, yang hanya menyembah Allah SWT. Berhala-berhala yang menjadi pusat kesyirikan dibersihkan para sahabat yang dipimpin Rasululllah.
Tidak ada lagi kehidupan syirik yang menjadi ciri kehidupan kaum jahiliyah di sekitar Ka’bah. Kemudian, semuanya menjadi penyembah tauhid, dan hanya semata-mata menyembah Rabbul Alamin.
Ini merupakan bentuk kemenangan dari para generasi Qur’ani, yang dikenal dengan para Shahabat, dan yang hidup dibawah naungan Al-Qur’an, mendasari kehidupan dengan Al-Qur’an, dan menjadikan Al-Qur’an sebagai minhajul hayah. Kemenangan generasi sahabat melawan kaum jahiliyah Makkah, menandakan adanya era baru dalam kehidupan ummat manusia, yang sebelumnya dibelenggu peradaban jahiliyah yang menyembah berhala dan materialisme, dan telah membawa kesesatan bagi kehidupan manusia di Makkah telah berakhir.
Al-Qur’an telah menciptakan sebuah kehidupan baru bagi bangsa-bangsa di dunia. Inilah warisan dari generasi Qur’ani yang langsung dididik oleh Rasulullah SAW., yang bangkit melawan berbagai bentuk penyimpangan, kesesatan dan kedurhakaan terhadap Allah SWT.
Kini, giliran kita menapaki jalan tersebut. Menapaki jalan dakwah yang pernah diemban oleh Rasulullah SAW. Menciptakan kader-kader generasi muda Qur’ani yang berbasis IPTEK (Ilmu Pengetahuan& Tekhnologi) & IMTAK (Iman & Takwa). IPTEK bila tidak didasari IMTAK akan sia-sia, begitu pula IMTAK jika tidak disokong oleh IPTEK akan tertinggal oleh zaman & perdaban. Mari kita songsong peradaban islam yang mulia dengan mencetak generasi-generasi Qur’ani yang akan mengubah tatanan kehidupan menjadi lebih baik lagi. Hamasah!!!! AllahuAkbar!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar