Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah
“Pengertian menurut Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah”
1.
Otonomi Daerah adalah wewenang Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.Daerah Otonom, sebagai sebutan umum bagi Provinsi,
Kabupaten dan Kota, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.
Sistem Otonomi Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling
ketergantungan dan saling barhubungan dalam wewenang Daerah Otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Daerah Otonom, sebagai sebutan
umum bagi Provinsi, Kabupaten dan Kota, selanjutnya disebut Daerah, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
3. Sistem Pemerintahan Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling barhubungan dalam penyelenggaraan urusan Pemerintah yang diserahkan kepadaDaerah sebagai fungsi-fungsi pemerintahan daerah otonom yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang merupakan lembaga pemerintahan daerah menurut asas desentralisasi. Pemerintah Daerah adalah unsur lembaga pemerintahan daerah yang terdiri dari Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain, yang berfungsi sebagai lembaga eksekutif daerah.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah unsur lembaga pemerintahan daerah yang berfungsi sebagai lembaga legislatif Daerah.
3. Sistem Pemerintahan Daerah adalah totalitas dari bagian-bagian yang saling ketergantungan dan saling barhubungan dalam penyelenggaraan urusan Pemerintah yang diserahkan kepadaDaerah sebagai fungsi-fungsi pemerintahan daerah otonom yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang merupakan lembaga pemerintahan daerah menurut asas desentralisasi. Pemerintah Daerah adalah unsur lembaga pemerintahan daerah yang terdiri dari Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain, yang berfungsi sebagai lembaga eksekutif daerah.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah unsur lembaga pemerintahan daerah yang berfungsi sebagai lembaga legislatif Daerah.
Otonomi
daerah di Indonesia adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.”
Terdapat
dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1.
Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan
bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat
negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada
rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara
kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2.
Nilai dasar
Desentralisasi Teritorial,
dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya
sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk
melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang
ketatanegaraan.
Dikaitkan
dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di
Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan
penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan
tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah
Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan
1.
Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang
mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang
berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2.
Dimensi
Administratif,
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat
lebih efektif;
3.
Dati II adalah
daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah
yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas
dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1.
Nyata, otonomi secara nyata diperlukan
sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
2.
Bertanggung jawab, pemberian otonomi
diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah
air; dan
3.
Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu
menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
Pelaksanaan Otonomi Daerah di
Masa Orde Baru
Sejak
tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional
yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk
mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan
Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya,
dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi
dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh
pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang
sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat.
Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas
administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang
dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak,
berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam
ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Undang-undang
No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah
yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1.
Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah
dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah
tangganya;
2.
Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari
Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya
kepada Pejabat-pejabat di daerah; dan
3.
Tugas Pembantuan
(medebewind),
tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan
kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah
Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskannya.
Pelaksanaan Otonomi Daerah
setelah Masa Orde Baru
Upaya
serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai
di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses
pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis).
Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus
menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan
pada beberapa pilihan yaitu
1.
melakukan pembagian
kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah
pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
2.
pembentukan negara
federal; atau
3.
membuat pemerintah
provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada
masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang
baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan
memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat
berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
1.
Dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi
daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
2.
Prinsip yang
menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas
dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi
yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan
dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu,
otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga
memperhatikan keanekaragaman daerah.
3.
Beberapa hal yang
sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa
dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan
Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi
daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan
masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat
II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4.
Sistem otonomi yang
dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata
dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang
politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan
bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan
menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5.
Daerah otonom
mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan
menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah
Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan
sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja
Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan
kepadanya.
6.
Kabupaten dan Kota
sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini,
kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah
administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas
tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan
desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya
diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang
ditetapkan oleh pemerintah.
7.
Wilayah Propinsi
meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal
pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut
sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.
8.
Pemerintah Daerah
terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur
pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi
daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur
selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9.
Peraturan Daerah
ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang
ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
10.
Daerah dibentuk
berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya,
sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah
lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan
dengan undang-undang.
11.
Setiap daerah hanya
dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan
kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12.
Daerah diberi
kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan
pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
13.
Kepada Kabupaten dan
Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas.
Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten
dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan
dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang
perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang
pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan
yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
14.
Pengelolaan kawasan
perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan
pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri
maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD,
daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari
Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf
Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan
pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga
pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah
dan Kandep dihapus.
15.
Kepala Daerah
sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala
Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua)
kali tidak dapat diterima oleh DPRD.
1. Pembangunan ekonomi regional
Perkembangan
teori ekonomi pertumbuhan dan meningkatnya ketersediaan data daerah mendorong
meningkatnya perhatian terhadap ketidakmerataan pertumbuhan daerah. Teori
ekonomi pertumbuhan dimulai oleh Robert Solow yang dikenal dengan Model
pertumbuhan neo-klasik. Dan beberapa ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan
teori pertumbuhan tersebut dengan menggunakan data-data daerah.
Untuk
melihat ketidaknmerataan pertumbuhan regional dapat ditentukan dengan beberapa
cara. Secara umum dalam menghitung pertumbuhan dengan; 1. pertumbuhan output;
2. pertumbuhan output per pekerja; dan, 3. pertumbuhan output perkapita.
Pertumbuhan output digunakan untuk mengetahui indikator kapasitas produksi.
Pertumbuhan output per pekerja seringkali digunakan untuk mengetahui indikator dari
perubahan tingkat kompetitifitas daerah, sedangkan pertumbuhan output perkapita
digunakan sebagai indikator perubahan dari kesejahteraan
Perkembangan
teori ekonomi pertumbuhan dan meningkatnya ketersediaan data daerah mendorong
meningkatnya perhatian terhadap ketidakmerataan pertumbuhan daerah. Teori
ekonomi pertumbuhan dimulai oleh Robert Solow yang dikenal dengan Model
pertumbuhan neo-klasik. Dan beberapa ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan
teori pertumbuhan tersebut dengan menggunakan data-data daerah.
Untuk
melihat ketidaknmerataan pertumbuhan regional dapat ditentukan dengan beberapa
cara. Secara umum dalam menghitung pertumbuhan dengan; 1. pertumbuhan output;
2. pertumbuhan output per pekerja; dan, 3. pertumbuhan output perkapita.
Pertumbuhan output digunakan untuk mengetahui indikator kapasitas produksi.
Pertumbuhan output per pekerja seringkali digunakan untuk mengetahui indikator
dari perubahan tingkat kompetitifitas daerah, sedangkan pertumbuhan output
perkapita digunakan sebagai indikator perubahan dari kesejahteraan .
2. Sebab
Ketimpangan Pembangunan
Menurut
Sarjono HW (2006) pada kontek mikro, yang menjadi penyebab terjadinya
ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah pada umumnya, penyebabnya antara
lain:
1. Keterbatasan informasi pasar dan informasi teknologi untuk pengembangan produk unggulan.
2. Belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di daerah.
3. Belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak kepada petani dan pelaku swasta.
4. Belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah.
5. Belum berkembangnya koordinasi, sinergitas, dan kerjasama,diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan petani, serta antara pusat, propinsi, dan kabupaten atau kota dalam upaya peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.
6. Masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran dalam upaya pengembangan peluang usaha dan kerjasama investasi.
7. Keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi di daerah dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah.
8. Belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antar daerah untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan
1. Keterbatasan informasi pasar dan informasi teknologi untuk pengembangan produk unggulan.
2. Belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di daerah.
3. Belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak kepada petani dan pelaku swasta.
4. Belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah.
5. Belum berkembangnya koordinasi, sinergitas, dan kerjasama,diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan petani, serta antara pusat, propinsi, dan kabupaten atau kota dalam upaya peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.
6. Masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran dalam upaya pengembangan peluang usaha dan kerjasama investasi.
7. Keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi di daerah dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah.
8. Belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antar daerah untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan
Sementara
pada aspek makro, Dumairy (1996), menyatakan bahwa terdapat ada dua faktor yang
layak dikemukakan untuk menerangkan mengapa ketimpangan pembangunan dan
hasil-hasilnya dapat terjadi. Faktor pertama ialah karena ketidaksetaraan
anugerah awal (initial endowment) diantara pelaku-pelaku ekonomi. Sedangkan
faktor kedua karena strategi pembangunan yang tidak tepat_cenderung
berorientasi pada pertumbuhan, (growth).
Ketidaksetaraan anugerah awal yang dimaksud adalah adanya kesenjangan antara bekal “resources” yang dimiliki oleh para pelaku ekonomi. Yang meliputi, sumberdaya alam, kapital, keahlian/keterampilan, bakat/potensi atau sarana dan prasarana. Sedangkan pelaku ekonomi adalah perorangan, sektor ekonomi, sektor wilayah/daerah/kawasan). Sumberdaya alam yang dimiliki tidak sama antar daerah, (pra)sarana ekonomi yang tersedia tidak sama antar daerah, begitu pula yang lain-lainnya seperti kapital, keahlian/keterampilan serta bakan atau potensi.
Kalau kita lihat secara objektif, ketimpangan pembangunan, yang selama ini berlangsung dan berwujud khsususnya pada Negara berkembang adalah dalam berbagai bentuk, aspek, atau dimensi. Bukan saja ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan perkapita, tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Bukan pula semata-mata berupa ketimpangan spasial atau antar daerah, yakni antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Akan tetapi juga berupa ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional. Ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional misalnya, dapat dilihat berdasarkan perbedaan mencolok dalam aspek-aspek seperti penyerapan tenaga kerja; alokasi dana perbankan; investasi dan pertumbuhan.
Secara makro ketimpangan pembangunan yang terjadi di diberbagai daerah, tentunya karena lebih disebabkan oleh aspek strategi pembangunan yang kurang tepat. Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan misalnya, ternyata tidak mampu mengatasi persoala-persoalan yang terjadi di daerah, malah sebaliknya hanya memperkaya pelaku-pelaku ekonomi tertentu yang dekat dan mudah mendapatkan akses pembangunan secara gratis.
Oleh karena itu, untuk dapat menghasilkan pembangunan ekonomi yang sebenar-benarnya dapat dirasakan oleh semua masyarakat, harus ada keberanian dari pemerintah daerah untuk mengubah cara pandang dan strategi pembangunan ekonominya kearah yang lebih sehat dan kompetitif. Kue-kue pembangunan harus dapat dinikmati dan dirasakan oleh semua masyarakat yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, jangan sampai kue pembangunan hanya milik segelintir kelompok atau golongan tertentu saja yang dekat dengan kekuasan dan mudah mendapatkan akses pembangunan secara gratis.
Ketidaksetaraan anugerah awal yang dimaksud adalah adanya kesenjangan antara bekal “resources” yang dimiliki oleh para pelaku ekonomi. Yang meliputi, sumberdaya alam, kapital, keahlian/keterampilan, bakat/potensi atau sarana dan prasarana. Sedangkan pelaku ekonomi adalah perorangan, sektor ekonomi, sektor wilayah/daerah/kawasan). Sumberdaya alam yang dimiliki tidak sama antar daerah, (pra)sarana ekonomi yang tersedia tidak sama antar daerah, begitu pula yang lain-lainnya seperti kapital, keahlian/keterampilan serta bakan atau potensi.
Kalau kita lihat secara objektif, ketimpangan pembangunan, yang selama ini berlangsung dan berwujud khsususnya pada Negara berkembang adalah dalam berbagai bentuk, aspek, atau dimensi. Bukan saja ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan perkapita, tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Bukan pula semata-mata berupa ketimpangan spasial atau antar daerah, yakni antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Akan tetapi juga berupa ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional. Ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional misalnya, dapat dilihat berdasarkan perbedaan mencolok dalam aspek-aspek seperti penyerapan tenaga kerja; alokasi dana perbankan; investasi dan pertumbuhan.
Secara makro ketimpangan pembangunan yang terjadi di diberbagai daerah, tentunya karena lebih disebabkan oleh aspek strategi pembangunan yang kurang tepat. Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan misalnya, ternyata tidak mampu mengatasi persoala-persoalan yang terjadi di daerah, malah sebaliknya hanya memperkaya pelaku-pelaku ekonomi tertentu yang dekat dan mudah mendapatkan akses pembangunan secara gratis.
Oleh karena itu, untuk dapat menghasilkan pembangunan ekonomi yang sebenar-benarnya dapat dirasakan oleh semua masyarakat, harus ada keberanian dari pemerintah daerah untuk mengubah cara pandang dan strategi pembangunan ekonominya kearah yang lebih sehat dan kompetitif. Kue-kue pembangunan harus dapat dinikmati dan dirasakan oleh semua masyarakat yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, jangan sampai kue pembangunan hanya milik segelintir kelompok atau golongan tertentu saja yang dekat dengan kekuasan dan mudah mendapatkan akses pembangunan secara gratis.
3. Teori-teori Pembangunan Daerah
Pembangunan
Daerah
Pembangunan daerah pada
hakekatnya adalah upaya terencana untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan
daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang andal dan profesional dalam :
•
memberikan pelayanan kepada masyarakat,
•
mengelola sumber daya ekonomi daerah.
Pembangunan daerah juga merupakan
upaya untuk memberdayakan masyarakat di seluruh daerah sehingga:
•
tercipta suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakat
untuk
menikmati kualitas kehidupan yang lebih baik, maju,
dan
tenteram,
•
memperluas pilihan yang dapat dilakukan masyarakat bagi
peningkatan
harkat, martabat, dan harga diri.
Perencanaan
Pembangunan Daerah
Perencanaan adalah suatu proses
untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui serangkaian
pilihan-pilihan.
1. Pemilihan tujuan dan kriteria
2.
Identifikasi seperangkat alternatif yang konsisten dengan preskripsi dengan
pemilihan alternatif yang memungkinkan
3. Arahan tindakan mengenai
tujuan yang telah ditentukan
Munculnya
gagasan tentang perencanaan pembangunan daerah berawal dari pandangan yang
menganggap bahwa perencanaan pembangunan nasional tidak cukup efektif memahami
kebutuhan warga Negara yang berdomisili di dalam suatu wilayah administratif
dalam rangka pembangunan daerah. Menurut pandangan ini, pembangunan daerah
hanya bersifat pembangunan (“oleh pemerintah pusat”) di daerah sehingga
masyarakat daerah tidak mampu mengakses pada proses pengambilan keputusan
publik untuk menentukan nasib sendiri; dan munculnya kebijakan pemerintah
memberikan kewenangan lebih luas kepada penyelenggara pemerintah daerah dalam
rangka penerapan kebijakan desentralisasi.
Secara
umum perencanaan pembangunan daerah di definisikan sebagai proses dan mekanisme
untuk merumuskan rencana jangka panjang, menengah, dan pendek di daerah yang
dikaitkan pada kondisi, aspirasi, dan potensi daerah dengan melibatkan peran
serta masyarakat dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Secara praktis
perencanaan pembangunan daerah di definisikan sebagai suatu usaha yang
sistematis dari berbagai pelaku (aktor), baik umum (publik), atau pemerintah,
swasta maupun kelompok masyarakat lain pada tingkatan yang berbeda untuk
menghadapi saling kebergantungan dan keterkaitan aspek-aspek fisik,
sosial-ekonomi, dan aspek-aspek lingkungan lainnya dengan cara : (1) secara
terus menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah; (2)
merumuskan tujuan-tujuan dan kebijakan-kebijakan pambangunan daerah; (3)
menyusun konsep strategi-strategi bagi pemecahan masalah (solusi); (4)
melaksanakannya dengan menggunakan sumber-sumber daya yang tersedia; dan (5)
sehingga peluang-peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
daerah dapat di tangkap secara berkelanjutan.
Argumen
tentang pentingnya pembangunan daerah dan perencanaan pembangunan adalah
berdasarkan alasan politik, perencanaan pembangunan daerah dapat dilihat
sebagai wahana untuk menciptakan hubungan yang lebih baik antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan, sementara dalam
dimensikan alasan ekonomi, perencanaan pembangunan dapat dilihat sebagai wahana
untuk mencapai sasaran pengentasan kemiskinan dan sasaran pembangunan sosial
secara lebih nyata di daerah-daerah.
Dalam
pembangunan daerah, pemerintah daerah diharapkan mampu melakukan manajemen
pembangunan daerah dengan fokus pembangunan wawasan.
Analisis Faktor-faktor yang
Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Kota Tangerang Sebelum dan Pada Masa Otonomi
Daerah
Abstract:
Pertumbuhan
ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis
tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah.
Pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan distribusi pendapatan yang merata sangat
dibutuhkan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi
suatu daerah diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju
pertumbuhannya atas dasar harga konstan. Pertumbuhan ekonomi yang cepat akan
menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini disebabkan oleh
kebijakan pemerintah yang bersifat sentralisasi. Pada tahun 1999 pemerintah
mengubah kebijakan sentralisasi menjadi desentralisasi dengan memberlakukan
Otonomi Daerah. Hal tersebut memberikan harapan dalam upaya mengurangi tingkat
kemiskinan dan ketimpangan antar daerah. Kota Tangerang sebagai salah satu
daerah pelaksana otonomi daerah berusaha untuk memaksimalkan potensi sumberdaya
manusianya untuk mengolah potensi yang ada. Perkembangan pembangunan Kota
Tangerang tidak terlepas dari peranan pemerintah daerah yang menentukan
prioritas pembangunannya sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh Kota
Tangerang tersebut.
Dalam
lingkup daerah, salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan di bidang
ekonomi yang diperlukan untuk evaluasi dan perencanaan ekonomi makro, biasanya
dilihat dari pertumbuhan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Laju
pertumbuhan PDRB Kota Tangerang yang berfluktuasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti investasi, sumber daya manusia, pekembangan teknologi dan faktor
lainnya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi memerlukan modal yang relatif besar
yang akan digunakan untuk memperkuat infrastruktur, baik fisik maupun sosial.
Dana yang dibutuhkan untuk menambah modal tersebut biasa disebut investasi.
Selain investasi, faktor lain yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah
sumber daya manusia. Pertumbuhan penduduk yang tinggi bila tidak disertai
dengan ketersediaan lapangan pekerjaan akan menyebabkan peningkatan jumlah
pengangguran. Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan. Salah
satu faktor yang memengaruhi permintaan tenaga kerja adalah tingkat upah. Dari
uraian di atas, penting untuk diketahui seberapa besar pengaruh investasi,
jumlah tenaga kerja, dan upah tenaga kerja, terhadap pertumbuhan ekonomi Kota
Tangerang. Dengan demikian pemerintah kota dapat mempersiapkan strategi
pembangunan dan menerapkan kebijakan yang tepat guna mencapai pertumbuhan
ekonomi yang diinginkan. Oleh karena itu, penelitian ini akan menganalisis
seberapa besar pengaruh pertumbuhan investasi, jumlah tenaga kerja, serta upah
tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari PDRB Kota Tangerang
serta melihat seberapa besar keberhasilan kebijakan Otonomi Daerah yang
berjalan di Kota Tangerang tersebut.
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan model ekonometrika. Untuk
meramalkan bagaimana pengaruh variabel-variabel bebas (independent variables)
terhadap variabel terikat (dependent variable) digunakan metode pendugaan
Ordinary Least Square (OLS). Software yang digunakan adalah Eviews6. Data yang
digunakan sebagai bahan analisis penelitian ini adalah data sekunder dalam
bentuk time series dari tahun 1995 sampai tahun 2009. Data diperoleh dari
beberapa sumber antara lain BPS Kota Tangerang, BPS Pusat, Dinas Tenaga Kerja dan
BKPM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada taraf nyata sepuluh persen
(α=10%), tingkat PDRB Kota Tangerang dipengaruhi oleh investasi, jumlah tenaga
kerja, dan variabel dummy otonomi daerah. Variabel investasi dan jumlah tenaga
kerja mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap PDRB Kota
Tangerang dengan nilai koefisien masing-masing adalah 0,1720 dan 2,8674.
Sedangkan variabel upah tenaga kerja mempunyai nilai koefisien yang positif
tetapi tidak signifikan terhadap PDRB Kota Tangerang dengan koefisien 0,1618.
Sedangkan dummy otonomi daerah juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap
PDRB Kota Tangerang dengan koefisien 0,5694, dengan kata lain PDRB pada saat
otonomi daerah lebih baik daripada sebelum otonomi daerah. Dari penelitian ini,
ada beberapa tindakan kebijakan yang dapat diambil antara lain diharapkan
pemerintah Kota Tangerang mampu menciptakan atau menarik investasi yang
bersifat labour intensive dan juga di sektor-sektor perekonomian yang memberi
nilai tambah besar seperti sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan.
Dengan demikian investasi yang labour intensive di sektor-sektor tersebut dapat
memberikan pengaruh yang lebih besar dalam peningkatan PDRB Kota Tangerang.
Pemerintah Kota Tangerang jua sebaiknya lebih aktif dalam menciptakan lapangan
kerja yang baru di Kota Tangerang agar mengurangi angka pengangguran, dan perlu
dirumuskan kebijakan yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia di
Kota Tangerang. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian atau usaha lebih lanjut
dalam meningkatkan kinerja Otonomi Daerah, sehingga dapat memberikan pengaruh
lebih besar di kemudian hari terhadap PDRB Kota Tangerang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil
penelitian mengenai factor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Kota
Tangerang sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
-
Berdasarkan hasil analisis variable investasi
dan jumlah tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB Kota
Tangerang, sedangkan variable upah tenaga kerja berpengaruh positif tapi tidak
signifikan terhadap PDRB Kota Tangerang.
-
Pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang lebih
baik pada masa otonomi daerah dibanding sebelum diberlakukannnya otonomi
daerah. Hal ini ditunjukan oleh nilai koefisien variable otonomi daerah yang
bernilai positif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar